menemukan cerita ini didata note book saya. entah darimana saya lupa. tapii terima kasih buat yang buat. sangat bermanfaat :)
Aku tidak tahu di mana berada.
Meski sekian banyak manusia berada di sekelilingku, namun aku tetap merasa
sendiri dan ketakutan. Aku masih bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini,
dan buat apa semua manusia dikumpulkan. Mungkinkah,,, ah aku tidak mau
mengira-ngira.
Rasa takutku makin
menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak pernah kukenal sebelumnya mendekat
dan menjawab pertanyaan hatiku. “Inilah yang disebut Padang Mahsyar,” suaranya
begitu menggetarkan jiwaku. “Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku,” batinku. Aku
menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari
seseorang yang kukenal.
Kusaksikan langit menghitam
sesaat kemudian bersinar kemilauan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, hari di mana semua manusia
akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya selama hidup di dunia. Hari
ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, surgakah yang akan
dinikmati atau adzab neraka yang siap menanti.
Aku semakin takut. Namun ada
debar dalam dadaku mengingat amal-amal baikku di dunia. Mungkinkah aku
tergolong orang-orang yang mendapat kasih-Nya atau jangan-jangan....??? Aku dan
semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang manguasai hari pembalasan.
Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang mengatakan, bahwa
sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia yang akan menemani Rasulullah SAW di
surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku
termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infak yang aku sedekahkan.
Terlebih lagi, sewaktu di dunia aku dikenal sebagai aktivis dakwah. ”Kalaulah
banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku,” pikirku mantap.
Akhirnya, nama-nama itupun mulai
disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni surga
itu, mengingat ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu,
nama Rasulullah Muhammad sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai
janji Allah melalui Jibril, bahwa tidak satupun jiwa yang masuk ke dalam surga
sebelum Muhammad masuk. Setelah itu tersebutlah nama para Assabiquunal
Awwaluun. Kulihat Fatimah Az Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia
sebagai wanita pertama yang ke surga, diikuti para isteri dan keluarga Rasul
lainnya.
Para nabi dan rasul Allah
lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir dan Sumayyah berjalan tengan
dengan predikat Syahid dan Syahidah pertama dalam Islam. Juga para sahabat
lainnya, satu per satu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga
melangkah ke tempat di mana Allah akan membuka tabirnya. Yang aku tahu, salah
satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah
Allah. Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur
mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama
Muhammad menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu
dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.
Sementara itu, dadaku berdegub
keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak
yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati kesegaran telaga Kautsar.
Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sepertinya
aku kenal mereka. Yaa Allah!!!, mereka anak-anak yatim sebelah rumahku yang
tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu menangis kelaparan di malam
hari sementara sering kubuang sebagian makanan yang tak habis kumakan.
“Subhanallah!!!, itu si Parmin tukang mie dekat rumahku,” aku terperangah
melihatnya melenggang ke surga. Parmin, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu
pernah bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangan ia kirimkan untuk ibu dan
biaya sekolah empat adiknya. Parmin yang rajin sholat itu, rela berpuasa
berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba,
orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, “Parmin yang tukang mie itu
lebih baik di mata Allah. Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain.” Sementara aku,
semua hasil keringatku semata untuk keperluanku.
Lalu berturut-turut lewat di depan mataku, mbok Darmi pembantu di rumahku
yang kerap kali kuperintah dengan seenaknya. Kendatipun sudah setengah tua mbok
Darmi tetap menjalankan perintahku dengan senyuman. Orang disampingku berbicara
lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tak kulontarkan, “Mereka ikhlas,
tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian meski kau tolak.”
Masya Allah!!!, murid-murid pengajian yang aku bina, mereka mendahuluiku
ke surga. Setelah itu, berbondong-bondong jama’ah masjid-masjid biasa aku
berceramah. “Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Dengan penuh keikhlasan mereka dengarkan taujih-taujih
darimu, kemudian mereka amalkan. Sedangkan
kau terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan. Padahal,
lebih banyak yang disa dipelajari dengan mendengar dari pada berbicara,” jelasnya lagi.
Aku semakin penasaran dan
terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan itu antrian manusia-manusia
dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi sejauh ini, belum juga namaku
terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu dengan Allah dan berkata,
”Ya Allah, di duniaku aku banyak melakukan ibadah, aku bershodaqoh, banyak
membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke surga-Mu.”
Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin
menolaknya. Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara. “Ibadahmu bukan untuk Allah, tetapi semata
untuk kepentinganmu mendapatkan surga
Allah, sodaqohmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu,” bergetar tubuhku mendengarnya.
Allah, sodaqohmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu,” bergetar tubuhku mendengarnya.
Anak-anak yatim, Parmin, mbok Darmi, pengemis tua, murid-murid pengajian,
jama’ah masjid dan banyak lagi orang-orang yang sering kuanggap tidak lebih
baik dariku, mereka lebih dulu ke surga Allah. Padahal, aku sering beranggapan,
surga adalah balasan yang pantas untukku atas dakwah yang kulakukan, infak yang
kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan perbuatan baik lainnya. Ternyata, aku tidak
lebih tunduk dari pada mereka , tidak lebih ikhlas dalam beramal dari pada
mereka, tidak lebih bersih hati dari pada mereka, tidak lebih ikhlas dalam
beramal daripada mereka, sehingga aku tidak lebih dulu ke surga.
Jam dinding berdentang tiga
kali. Aku tersentak bangun dan, astaghfiirullah..., ternyata Allah telah
menasehatiku lewat mimpi malam ini.
No comments:
Post a Comment