CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Nov 30, 2024

Hari Ke-8: Belajar Berdiri Sendiri

 Awal pernikahan kami adalah awal perjalanan yang penuh tantangan. Seminggu setelah menikah, aku dan suami harus menjalani Long Distance Mariage. Karna suami harus menjalani orientasi di kampusnya sedangkan aku masih menunggu visa. Kami bertemu kembali setelah 4 bulan berpisah. Pertengahan Desmber 2013 aku merantau ke Saudi. Dan ini pertama kalinya aku merantau jauh dari ibukota.

Meski tinggal di Arab Saudi, lingkungan kami tinggal menggunakan bahasa Inggris. Sebagai seorang istri baru di lingkungan asing, dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat terbatas, aku merasa seluruh dunia ini terlalu besar dan asing. Dan satu-satunya tempat aku merasa aman hanyalah di sisi suami.

Aku sangat bergantung padanya—untuk hal besar maupun kecil. Dari berbelanja, berkomunikasi, hingga sekadar meminta arahan. Rasanya, tanpa dia, aku seperti anak kecil yang tersesat di keramaian.

Tapi seiring berjalannya waktu dan aku mendengar sebuah kajian, beliau berkata : "Sebagai istri, kita memang wajib taat dan mendukung suami. Tapi jangan pernah menggantungkan seluruh hidupmu padanya. Dia adalah manusia yang terbatas, sama seperti kita. Dan hanya Allah yang pantas menjadi sandaran sejati."

Kata-katanya menamparku. Meski hanya mengandalkan komunikasi tapi aku harus bisa sendiri. Karna suami gak akan selamanya bersamaku.

Aku mencoba berubah. Aku mulai belajar lebih banyak—beradaptasi dengan lingkungan, memperbaiki bahasa Inggris, dan mencoba berdiri lebih mandiri. Dan abang memang selalu "melepasku" bukan karna tak ingin pergi bersama. Dia ingin istrinya belajar mandiri. Dari dulu memang suamiku berusaha mengajarkanku untuk lebih mandiri di sini.Dan dia tau istrinya bisa melakukannya hanya saja butuh kepercayaan diri yang lebih.

Awalnya berat, karena aku terbiasa bergantung. Tapi perlahan, aku merasa lebih kuat. Alhamdulillah sekarang aku bisa menghandle apapun sendiri. Dulu urusan telephone dengan orang asing aja, aku bisa keringat dingin. Aku lebih sering menghindar klo bertemu asing ketika sama-sama menunggu. Alhamdulillah atas izin Allah, aku bisa lebih percaya diri meski bahasa inggriku tidak terlalu mahir.

Sejak itu, Aku melihat suamiku sebagai partner, bukan penyelamat. Kami saling mendukung, saling menguatkan, tapi pada akhirnya, kami sama-sama harus terus mengingat bahwa hanya Allah yang Maha Menguatkan dan tempat berserah. 

Nov 28, 2024

Hari Ke-7: Jangan Berharap dengan Manusia

Hijrah mengajarkan banyak hal, tapi salah satu pelajaran terbesar yang aku dapat adalah: jangan pernah menggantungkan harapan sepenuhnya pada manusia.

Dulu, sebelum benar-benar memahami, aku sering berpikir bahwa kebahagiaan itu datang dari orang lain—dari teman, keluarga, bahkan pasangan. Tapi semakin aku belajar, semakin aku menyadari, manusia itu terbatas. Sekalipun orang itu sangat baik, dia tetap punya kelemahan.

Aku ingat, pernah suatu hari aku kecewa pada suamiku. Saat itu, aku marah, sedih. Tapi kemudian aku berpikir, "Kenapa aku menggantungkan kebahagiaanku pada dia? Bukankah dia juga manusia biasa yang punya keterbatasan?"

Aku membuka Al-Qur'an dan menemukan ayat yang membuatku merenung dalam:

"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal." (QS. At-Taubah: 129).

Di titik itu aku sadar, Allah sedang mengingatkanku untuk bergantung pada-Nya. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai atau berharap pada pasangan, tapi harapan tertinggi itu hanya pantas ditujukan kepada Allah.

Sekarang, setiap kali merasa kecewa, aku berusaha mengingat bahwa pasangan kita juga manusia biasa. Mereka bisa berbuat salah, bisa lupa, atau bahkan tidak mampu memenuhi harapan kita. Dan itu tidak apa-apa. Karena tugas kita bukan menuntut kesempurnaan dari mereka, tapi saling mendukung untuk menjadi lebih baik.

Lagi pula, jika kita terlalu bergantung pada manusia, kita hanya akan lelah sendiri. Tapi ketika kita bersandar pada Allah, Dia yang akan menguatkan hati kita. Karena hanya Dia yang tidak pernah mengecewakan.

Jadi, untuk diriku sendiri dan siapa pun yang membaca ini, mari belajar untuk mengurangi ekspektasi kepada manusia. Fokuslah pada bagaimana kita bisa menjadi pasangan, teman, atau sahabat yang lebih baik. Dan percayalah, ketika kita menyerahkan segalanya kepada Allah, Dia akan mengganti segala kekurangan manusia dengan cinta dan ketenangan yang sejati.

Hari Ke-6: Lingkaran Kecil yang Mengubah Hidupku

Dulu, aku merasa sudah cukup baik hanya dengan berjilbab. Tapi ternyata, ada yang hilang—pemahaman tentang makna hijrah yang sebenarnya. Liqo adalah pintu awal yang membuka kesadaranku. Aku masih ingat, acara LDKS di remaja masjid itu mempertemukanku dengan komunitas ini. Lingkaran kecil yang sederhana tapi penuh makna.

Pertemuan seminggu sekali ini bukan sekadar duduk mendengar materi. Di sana, aku menemukan kehangatan yang berbeda. Tidak ada yang menghakimi, tidak ada yang merasa lebih baik. Kami, tujuh-sembilan perempuan muda, datang dengan latar belakang dan cerita hidup masing-masing.

Aku masih remaja, masih suka nongkrong, masih belajar menjaga lisan. Tapi teman-teman liqo ini membuatku merasa diterima apa adanya. Mereka adalah cerminan versi diriku yang lebih baik, sekaligus pengingat bahwa aku punya potensi besar untuk berubah.

Setiap pertemuan terasa seperti recharge iman. Kami tidak hanya belajar tentang agama, tapi juga saling berbagi kisah dan tawa. Ada sesi menghafal Qur’an, diskusi, hingga obrolan ringan tentang masalah-masalah remaja. Aku yang dulu canggung, perlahan merasa nyaman.

Yang paling berkesan adalah bagaimana liqo ini mengubah caraku memandang pergaulan. Aku sadar, berteman itu tak perlu dibatasi, tapi harus diarahkan. Aku tetap nongkrong dengan teman-teman lain, tapi dengan cara yang lebih baik. Aku ingin mereka melihat bahwa menjalankan agama tidak membuatku kehilangan jati diri, malah semakin memperkaya kepribadianku.

Lambat laun, aku mulai mengajak teman-teman dekatku untuk ikut kegiatan masjid. Meski tak selalu berhasil, aku tetap bahagia bisa menunjukkan contoh kecil melalui perubahan sikapku. Dakwah itu, aku belajar, tidak selalu harus besar dan langsung. Kadang cukup dari akhlak sehari-hari.

Liqo mengajarkanku untuk selalu bersyukur, untuk terus berusaha, dan untuk mencintai agamaku dengan sepenuh hati. Mungkin perjalanan ini masih panjang, tapi aku yakin, selama aku berada di lingkaran ini, aku tak akan tersesat.

Lingkaran kecil itu bukan sekadar komunitas, melainkan tempat aku menemukan versi terbaik dari diriku.


Nov 26, 2024

Hari Kelima: Berkahnya Bergabung di Lingkaran Kebaikan

 Di tengah perjalanan mengenal Islam lebih dalam, aku bersyukur sekali dipertemukan dengan liqo—sebuah kelompok kecil yang rutin bertemu setiap minggu. Awalnya aku ikut berawal dari kegiatan "traning motivasi" dari remaja masjid dekat rumah.  Ternyata selepas acara, kegiatan mentoring berlanjut. Meski naik-turun, datang dan pergi. Alhamdulillah ini menjadi jalan aku merasa di jagain Allah.

Kegitan liqo sendiri, suasananya jauh dari yang aku bayangkan. Tidak ada tekanan, tidak ada kesan menggurui. Kami hanya duduk melingkar di ruang tamu salah satu kaka pengisi liqo, mendengarkan materi islami yang disampaikan dengan bahasa sederhana, penuh cerita, dan sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari.


Minggu demi minggu aku merasa ada yang berbeda dalam diriku. Liqo bukan hanya sekadar tempat belajar agama, tapi juga menjadi ruang di mana aku bisa merefleksikan diriku sendiri. Teman-teman di kelompok ini juga sangat suportif. Mereka tidak pernah menghakimi, justru mendukung prosesku untuk menjadi lebih baik. Meski ada masanya pergantian kaka liqo adalah hal terberat. Tapi, liqo udah menjadi sebuah kebutuhanku.

Banyak sekali materi yang paling membekas di hatiku. Sering kali materi-materinya sangat pas sesuai kebutuhan hati.

Liqo juga memberiku keberanian untuk memperbaiki niat dalam berteman. Dari kelompok ini, aku belajar bahwa dakwah tidak harus dengan kata-kata yang besar. Cukup dengan sikap yang baik, tetap rendah hati, dan tidak memutuskan silaturahmi, itu sudah menjadi bentuk dakwah yang nyata.

Kini, setiap kali aku berkumpul dengan teman-teman liqo, aku merasa dikelilingi energi positif yang menguatkan. Aku tidak hanya belajar tentang agama, tapi juga tentang kehidupan. Dan yang paling penting, aku merasa tidak lagi sendiri dalam perjalanan ini. Di setiap lingkaran kecil itu, ada semangat untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Alhamdulillah.



Hari ke empat : Pergaulan Remaja

Ketika aku mulai belajar tentang jilbab, aku merasa ada panggilan hati untuk menjadi lebih baik. Tapi aku tahu, perubahan itu bukan berarti memutuskan hubungan dengan orang-orang di sekitarku, apalagi teman-teman lama. Aku percaya, pergaulan yang baik adalah salah satu cara untuk berdakwah—bukan dengan menghakimi, tapi dengan menjadi contoh.

Dulu, aku sering nongkrong bersama teman-teman dari berbagai latar belakang. Mereka yang belum berjilbab, mereka yang suka berbicara ceplas-ceplos, bahkan mereka yang masih jauh dari agama. Tapi aku tidak pernah merasa itu alasan untuk menjauh. Justru, aku merasa itu adalah kesempatan bagiku untuk berbagi kebaikan tanpa memaksa.

Ada satu momen yang selalu kuingat. Saat itu, kami sedang duduk di warung kecil di dekat sekolah, membicarakan hal-hal ringan. Salah satu temanku bertanya, “Nik, lo gak risih apa pakai jilbab terus, bahkan kalau nongkrong kayak gini?” Pertanyaan itu dilontarkan tanpa maksud buruk, hanya rasa penasaran.

Aku tersenyum dan menjawab, “Enggak, gw justru nyaman. Ini seperti pelindung untuk gw. gw tetap bisa bareng kalian, tetap bisa ngobrol kayak biasa. Jilbab ini gak membatasi gw buat jadi teman yang sama seperti dulu.”

Jawaban itu membuat mereka terdiam sejenak. Lalu, salah satu dari mereka berkata, “Tapi gue kadang malu sendiri, lo udah sejauh ini. Gue ngerasa belum siap.” Aku menatapnya lembut dan menjawab, “Gak apa-apa. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Gw cuma berharap, kalau suatu saat lo siap, kamu bakal ingat bahwa ini semua bukan tentang orang lain, tapi tentang hubungan kita dengan Allah.”

Sejak saat itu, percakapan kami berubah. Aku mulai merasa ada celah untuk menyisipkan nilai-nilai kebaikan dalam obrolan sehari-hari. Mereka tetap bercanda seperti biasa, tapi ada rasa hormat yang tumbuh. Mereka tidak lagi mengajak bercanda dengan topik yang kurang pantas di depanku. 

Aku sadar, dakwah itu tidak harus selalu dengan dalil panjang atau ceramah yang berat. Terkadang, senyum, sabar mendengarkan, dan tetap menjadi teman yang bisa diandalkan adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa Islam itu indah. Aku ingin mereka melihat bahwa berhijab, belajar agama, atau mendekat kepada Allah tidak membuat seseorang berubah menjadi orang yang kaku atau jauh dari pergaulan.

Bagiku, hijrah itu adalah proses panjang yang tidak hanya mengubah diri sendiri, tapi juga membawa orang lain ke dalam kebaikan dengan cara yang lembut. Dakwah adalah perjalanan cinta, bukan paksaan. Dan aku percaya, setiap langkah kecil yang kutempuh bersama teman-temanku ini adalah bagian dari jalan menuju keridhaan-Nya.