Assalamu’alaikum!
Aku Anik, tapi setelah menjadi ibu, beberapa orang mulai memanggilku Una. Kalau ingin tahu alasan panggilan itu, kalian bisa baca cerita-ceritaku sebelumnya.
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku laki-laki, dan adikku juga laki-laki. Kehidupan kami dulu sederhana. Banyak pengalaman yang membentukku menjadi seperti sekarang, termasuk perjalanan panjang tentang cinta, keyakinan, dan hijrah.
Dulu, aku pernah merasakan cinta "monyet" yang penuh harapan. Hubungan itu rumit; dia juga suka, tapi tidak pernah memberikan status yang jelas. Aku mencintainya terlalu dalam, tetapi akhirnya merasa terluka karena ketidakpastian. Itu adalah pengalaman yang benar-benar mengajarkan arti mencintai dengan batas.
Ketika aku memutuskan untuk hijrah, meninggalkan cara hidup lama yang kurang baik demi mendekatkan diri kepada Allah, aku sadar bahwa hubungan yang tidak pasti hanya membawa luka dan menjauhkan dari-Nya. Sejak itu, aku berjanji pada diriku sendiri: tidak akan ada lagi pacaran. Jika cinta itu benar, biarlah ia datang pada waktunya, dengan cara yang Allah ridhoi.
Aku adalah tipe orang yang cuek terhadap penampilan. Bukan karena tidak peduli, tapi aku merasa nyaman dengan diriku apa adanya. Namun, tidak semua orang bisa memahaminya. Pernah seorang teman berkata, "Kalau lu kayak gitu, gimana mau punya pacar?" Kata-kata itu cukup menohok. Sesaat aku merasa rendah diri, tapi aku tidak ingin terus terpuruk. Aku percaya satu hal: jodohku adalah bagian dari rencana Allah, bukan penilaian manusia.
Dan ternyata, Allah telah menyiapkan seseorang yang luar biasa—Wandi, atau yang biasa kupanggil Abang.
Abang adalah sahabat kakakku, sosok yang dikenal pintar dan berwibawa di lingkungan kami. Dari kecil, dia sering mengingatkan teman-temannya untuk saling mengajak kepada kebaikan. Aku masih ingat jelas, saat SMP, dia mengajakku dan teman-teman seumuranku ikut dauroh kepemimpinan. Itu adalah salah satu momen yang membekas hingga hari ini.
Mentoring mingguan yang menjadi kelanjutan dari dauroh itu berdampak besar bagiku. Setiap kali bertemu, Abang selalu bertanya, "Masih mentoring, Nik?" Kalimat sederhana itu seperti tamparan halus yang membuatku terus berusaha menjadi lebih baik.
Abang memang terkenal baik ke semua orang. Dia adalah sosok yang ramah, pintar berbicara, dan punya hati yang tulus. Dulu, aku dan sahabatku, Ria dan Elfa, pernah bercanda, "Siapa ya yang bakal jadi istri Bang Wandi? Dia kan kaku banget," sambil tertawa terbahak-bahak.
Bagiku, Abang adalah sosok seperti kakak. Dia sering main ke rumah bukan untuk mendekatiku, tapi karena dia sahabat kakakku. Saat itu, aku menganggap kebaikannya seperti perhatian seorang kakak kepada adik kecilnya.
Namun, waktu dan takdir Allah punya rencana lain. Siapa sangka, aku yang dulu hanya melihatnya sebagai figur kakak yang dihormati, kini berdiri di sisinya sebagai pasangan hidup.
Hidup memang penuh kejutan. Jika ada satu pelajaran yang kuambil dari perjalanan ini, itu adalah: jangan pernah ragu untuk menyerahkan segalanya kepada Allah. Dia tahu apa yang terbaik untuk kita, bahkan sebelum kita menyadarinya. Sampai hari ini, aku terus bersyukur atas jalan yang Allah pilihkan. Semoga aku dan Abang terus saling mendukung, saling menguatkan, dan bersama-sama menuju surga-Nya.